Fenomena Alam yang keras, Bagaimana Manusia Purba Menyikapinya?

 Fenomena Alam yang keras, Bagaimana Manusia Purba Menyikapinya?



Manusia modern hidup dalam peradaban yang telah berkembang karena teknologi. Ada rumah dan gedung untuk berlindung dari cuaca, ada listrik untuk menerangi kegelapan, tidak ada pengahat atau pendingin ruangan, binatang buas yang berkeliaran, hingga tidak adanya alat transportasi. Lantas bagaimana manusia purba menyikapi fenomena alam yang keras dan tidak stabil, serta apa pengaruhnya bagi fisik mereka?

Berlindung dalam gua


Manusia purba berlindung di dalam gua alami sebagai rumah utnuk berlindung dari cuaca dan binatang buas. Mereka juga berburu dan mengumpulkan makanan untuk bertahan hidup. Tidak seperti manusia modern yang memiliki berbagai jenis pakaian untuk melindungi diri dari cuaca dingin, manusa purba menggunakan kulit hewan sebagai pakaian. Dilansir dari History, ketika manusia bermigrasi ke iklim utara sekitar 45.000 tahun yang lalu, mereka merancang pakaian yang belum sempurna dari kulit binatang untuk melindungi diri dari dingin.

Mereka membuat pakaian longgar dari kulit yang bisa digunakan sebagai kantong tidur dan gendongan bayi. Manusia purba yang tinggal di iklim dingin memiliki tubuh yang lebih kekar dan lebih pendek. Hal ini merupakan bentuk adaptasi untuk mengurangi kehilangan panas tubuh di lingkungan yang dingin. Sebagai kebalikannya, manusia purba ynag tiggal di iklim panas memiliki tubuh yang kurus dengan kaki yang panjang sehingga mempermudah penguapan panas tubuh.

Manusia purba yang hidup di iklim panas juga memiliki rambut yang keriting dan tidak menutupi leher. Berdasarkan situs Australian Museum, rambut yang tidak menempel di leher memperlihatkan lebih banyak kulit sehingga lebih memudahkan penguapan panas dan keringat. Adapun manusia purba hidup di iklim dingin cenderung memiliki rambut yang lurus. Rambut yang lurus menutupi leher sehingga bisa membantu insulasi panas dan memberikan kehangatan tambahan.

Fisik manusia purba lebih kuat


Manusia purba tidak memiliki moda transportasi. Mereka berpindah sejauh bermil-mil hanya menggunakan kekuatan kakinya. Tidak hanya berjalan membawa berta tubuhnya, manusia purba juga membawa berbagai bawaan menggunakan tangan kosong. Banyak ilmuan meneliti tentang kekuatan fisik manusia purba dari fosil dan artifak yang ditinggalkan.

Dilansir dari Discover Magazine, seorang peneliti bernama Colin Shaw dalam Journal of Human Evolution (2013) menyebutkan bahwa tulang kering Homo sapiens dan Neanderthal yang berusia 40.000 dan 120.000 tahun tampak lebih kuat daripada tulang kering atlet lintas alam yang telah berlari 80 hingga 100 mil per minggu sejak remaja. Manusia purba Australopithecus aferensis dengan kerangka yang dikenal sebagai Lucy memiliki lengan yang lebih panjang dan kuat dibanding manusia modern. Disadur dari Live Science, Australopithecus memiliki perawakan yang pendek, massa tubuh rendah, lengan yang panjang dan kuat. Hal tersebut membuat mereka lebih unggul dari manusia modern dalam hal berenang, menyelam, dan memanjat pohon. Australopithecus mungkin bisa melakukan gerakan senam dan gimnastik lebih baik dari atlet karena kekuatan fisik tubuh bagian atas mereka.

Berburu


Manusia purba ketika masa nomaden (berpindah-pindah) memperoleh makanan dengan cara berburu ataupun mengumpulkan ubi-ubian, kacang-kacangan, buah-buahan, dan berbagai sayuran. Pada masa tersebut, manusia belum memanfaatkan api sehingga daging dan sayur dimakan dalam kondisi mentah. Hingga akhirnya manusia menemukan api dan mulai memasak makanannya. Memasak makanan dengan api menghasilkan lebih banyak protein, saat inilah manusia mengembangkan otak yang lebih besar.

Dilansir dari National Geographic, memasak makanan memberkan lebih banyak kalori dan mengevolusi manusia. Namun ternyata pergeseran makanan mentah ke makanan olahan ini berkonstribusi terhadap penyakit baru bagi manusia seperti diabetes, penyakit jantung, dan obesitas. Sehingga manusia purba bisa dibilang lebih sehat daripada manusia modern. 


Posting Komentar

0 Komentar